Selasa, 02 Februari 2010

PERMUSIKAN INDONESIA

Rasanya ingin menetes air mata ini jika melihat perkembangan musik Indonesia yang terjadi sekarang, tapi sayang 1000 x sayang saya tipe orang yang agak sulit meneteskan air mata. Wajah musik Indonesia semakin muram dan sudah berada pada level yang mengkhawatirkan. Pelaku industri musik semakin apatis dengan keadaan ini, mereka cenderung hanya mengejar sisi komersialisme belaka tanpa ada rasa tanggungjawab untuk menyembuhkan borok permusikan kita. Di sisi lain para konsumen musik kita semakin terlena dengan alunan musik-musik kelas “telek” . Mungkinkah keasyikan menikmati musik-musik demikian membuat mereka tak punya waktu untuk membersihkan tahi kuping yang sudah menutupi hampir di separuh lubang kuping. Ooooo..ohh.. saya baru paham sekarang kepapaan mendengar mana musik yang berkualitas mana yang tidak karena pendengaran mereka sudah terkontaminasi dengan gumpalan tahi kuping …. Wallahualam.

Realita berbicara bahwa kuantitas kehadiran band-band/solois di Indonesia mengalami lonjakan drastis. Setiap hari hampir selalu muncul band-band/solois yang mengeluarkan album baru. Tapi fenomena ini bukan mengindikasikan kualitas permusikan di Indonesia mengalami progresifitas. Sebaliknya maraknya new comer malah mengurangi daya filterisasi terhadap new comer yang punya skill bermusik. Skill bermusik tak menjadi referensi mutlak lagi para new comer berhasil masuk dalam dapur rekaman. Kejelian membaca selera pasar menjadi referensi utama kesuksesan sebuah album yang dikeluarkan. Pemilihan single kojo yang tepat menjadi kunci sukses sebuah group band/solois mendapatkan tempat di hati penikmat musik.

Dasar tersebut menjadi argument kuat band-band sekaliber Kangen Band, ST 12, Wali, Ungu, Peterpan, Matta Band, BBB, Angkasa dll bisa eksis di balantika musik Indonesia. Angka pejualan album yang mengagumkan serta job tawaran show tinggi membuat banyak new comer ingin berusaha mengikuti jejak mereka dengan menghasilkan karya usik masih dalam ordo musik sama. Masyarakat Indonesia sepertinya cukup exicite dengan agresi musik-musik telek bernuansa mellow. Hal ini tampaknya menjadi pilihan tepat untuk menyelaraskan dengan kondisi bangsa Indonesia yang makin morat-marit dan menjadi lagu pengganti “Mengheningkan Cipta” yang semakin jarang terdengar.

Kondisi permusikan kita makin miris dengan maraknya pelaku akting ikut-ikutan merambah dunia tarik suara. Memanfaatkan aji mupung nama-nama seperti “Janda” Ussy, Marshandal “Jepit”, The Sisters (Duo Sungkar), Titi “Jablay” Kamal, Hengky “Kewen” Chova, Cinta “Bechek” Laura dll semakin memperburuk citra musik Indonesia. Walau talent bermusik pas-pasan tapi modal tampang dan rasa konfidensi tinggi membuat mereka merasa enjoy-enjoy saja merilis album. Kemampuan menghasilkan suara 8 oktaf ternyata sanggup menghipnotis pendengar musik di Indonesia yang rata-rata tak punya kesempatan mengorek tahi kupingnya.

Berutung masih ada sederet musisi generasi baru yang punya skill bermusik klop dengan selera kuping budeg saya. Efek Rumah Kaca, Agnes Monica, Tia, Letto, Prisa, Tompi, Maliq & D’essentials dll. Kapabilitas musik yang mereka miliki menurut saya bisa menjadi penyeimbang retorika permusikan Indonesia. Sekali lagi saya tegaskan analisa ini dilihat dari kaca mata minus 4 yang saya pakai.

Lalu kelompok mana yang dianggap menjadi salah satu tumbal dari fenomena musik Indonesia saat ini. Salah satunya adalah pengusung aliran rock. Musik rock semakin dianaktirikan oleh pelaku industri rekaman dan semakin sayup-sayup terdengar di kuping penikmat musik kita. Musik rock dianggap sudah tidak menjual lagi padahal aliran ini sempat mencapai masa kejayaan di era ‘80 hingga ‘90an. Musisi harus berpikir satu, dua, tiga, empat kali lagi untuk mengeluarkan album bercorak rock karena selera mayoritas konsumen musik kita tak berpihak pada genre musik ini. Beberapa band rock seperti Garux, U’camp, Whizzkid, di medio 2000an pernah berreinkarnasi dengan merilis album setelah cukup lama vakum. Tapi apa lacur, album yang dirilis tak mendapat respons positif alias tak laku di pasaran.

Tercatat beberapa band ; Dewa 19, Gigi, Slank, Ada Band masih punya daya resistensi menahan gempuran band/solois telek. Tapi popularitas merekapun makin menurun terindikasi dari angka penjualan album yang tidak secemerlang dahulu lagi. Ya begitulah kehidupan musik selera pasar menjadi hakim dalam memutuskan music seperti apa menjadi pemenang.

Kita sebagai saksi bisu perkembangan musik di Indonesia hanya bisa berdo’a dan berharap semoga vlak-vlak hitam yang melekat pada wajah permusikan Indonesia bisa dihilangkan sedikit demi sedikit. Musik Indonesia harus bisa mencerminkan wajah inner beauty-nya sendiri dan jangan selalu tergantung dengan aksesoris-aksesoris picisan yang malah makin memperburuk wajah permusikan Indonesia. Kepada pelaku industri musik Indonesia selektiflah kalian dalam memilih band/solois yang berkualitas jangan hanya mengejar sisi komersialisme belaka.

http://pantastic1049.multiply.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar